Sejarah Kerajaan Massenrempulu Kabupaten Enrekang

03.41.00 Unknown 0 Comments

Sejarah Kerajaan Massenrempulu Kabupaten Enrekang - Massenrempulu atau lebih dikenal dengan Kabupaten Enrekang merupakan satu Dari berbagai Daerah Tingkat II Provinsi Sulawesi Selatan dengan Luas Wilayah 1.786.01 km².
Ditinjau dari segi sosial budaya, masyarakat Kabupaten Enrekang memiliki kekhasan tersendiri. Hal tersebut disebabkan karena kebudayaan Enrekang berada di antara kebudayaan Bugis, Mandar dan Tana Toraja. Bahasa daerah yang digunakan di Kabupaten Enrekang secara garis besar terbagi atas 3 bahasa dari 3 rumpun etnik yang berbeda di Massenrempulu', yaitu bahasa Duri, Enrekang dan Maiwa. Bahasa Duri dituturkan oleh penduduk di Kecamatan Alla', Baraka, Malua, Buntu Batu, Masalle, Baroko, Curio dan sebagian penduduk di Kecamatan Anggeraja. Bahasa Enrekang dituturkan oleh penduduk di Kecamatan Enrekang, Cendana dan sebagian penduduk di Kecamatan Anggeraja. Bahasa Maiwa dituturkan oleh penduduk di Kecamatan Maiwa dan Kecamatan Bungin. Melihat dari kondisi sosial budaya tersebut, maka beberapa masyarakat menganggap perlu adanya penggantian nama Kabupaten Enrekang menjadi Kabupaten Massenrempulu', sehingga terjadi keterwakilan dari sisi sosial budaya.
 Sejak abad XIV, daerah ini disebut MASSENREMPULU' yang artinya meminggir gunung atau menyusur gunung, sedangkan sebutan Enrekang dari ENDEG yang artinya NAIK DARI atau PANJAT dan dari sinilah asal mulanya sebutan ENDEKAN. Masih ada arti versi lain yang dalam pengertian umum sampai saat ini bahkan dalam Adminsitrasi Pemerintahan telah dikenal dengan nama “ENREKANG” versi Bugis sehingga jika dikatakan bahwa Daerah Kabupaten Enrekang adalah daerah pegunungan sudah mendekati kepastian, sebab jelas bahwa Kabupaten Enrekang terdiri dari gunung-gunung dan bukit-bukit sambung-menyambung mengambil ± 85% dari seluruh luas wilayah sekitar 1.786.01 Km².
Menurut sejarah, pada mulanya Kabupaten Enrekang merupakan suatu kerajaan besar yang bernama MALEPONG BULAN, kemudian kerajaan ini bersifat MANURUNG dengan sebuah federasi yang menggabungkan 7 kawasan/kerajaan yang lebih dikenal dengan federasi ”PITUE MASSENREMPULU”, yaitu:
1.   Kerajaan Endekan yang dipimpin oleh Arung/Puang Endekan
2.   Kerajaan Kassa yang dipimpin oleh Arung Kassa'
3.   Kerajaan Batulappa' yang dipimpin oleh Arung Batulappa'
4.   Kerajaan Tallu Batu Papan (Duri) yang merupakan gabungan dari Buntu Batu, Malua, Alla'. Buntu Batu dipimpin oleh Arung/Puang Buntu Batu, Malua oleh Arung/Puang Malua, Alla' oleh Arung Alla'
5.   Kerajaan Maiwa yang dipimpin oleh Arung Maiwa
6.   Kerajaan Letta' yang dipimpin oleh Arung Letta'
7.   Kerajaan Baringin (Baringeng) yang dipimpin oleh Arung Baringin
Pitu (7) Massenrempulu' ini terjadi kira-kira dalam abad ke XIV M. Tetapi sekitar pada abad ke XVII M, Pitu (7) Massenrempulu' berubah nama menjadi Lima Massenrempulu' karena Kerajaan Baringin dan Kerajaan Letta' tidak bergabung lagi ke dalam federasi Massenrempulu'.
Akibat dari politik Devide et Impera, Pemerintah Belanda lalu memecah daerah ini dengan adanya Surat Keputusan dari Pemerintah Kerajaan Belanda (Korte Verkaling), di mana Kerajaan Kassa dan kerajaan Batu Lappa' dimasukkan ke Sawitto. Ini terjadi sekitar 1905 sehingga untuk tetap pada keadaan Lima Massenrempulu' tersebut, maka kerajaan-kerajaan yang ada didalamnya yang dipecah.
Beberapa bentuk pemerintahan di wilayah Massenrempulu' pada masa itu, yakni:
1.   Kerajaan-kerajaan di Massenrempulu' pada Zaman penjajahan Belanda secara administrasi Belanda berubah menjadi Landshcap. Tiap Landschap dipimpin oleh seorang Arung (Zelftbesteur) dan dibantu oleh Sulewatang dan Pabbicara /Arung Lili, tetapi kebijaksanaan tetap ditangan Belanda sebagai Kontroleur. Federasi Lima Massenrempulu' kemudian menjadi: Buntu Batu, Malua, Alla'(Tallu Batu Papan/Duri), Enrekang (Endekan) dan Maiwa. Pada tahun 1912 sampai dengan 1941 berubah lagi menjadi Onder Afdeling Enrekang yang dikepalai oleh seorang Kontroleur (Tuan Petoro).
2.   Pada zaman pendudukan Jepang (1941–1945), Onder Afdeling Enrekang berubah nama menjadi Kanrikan. Pemerintahan dikepalai oleh seorang Bunkem Kanrikan.
3.   Dalam zaman NICA (NIT, 1946–27 Desember 1949), kawasan Massenrempulu' kembali menjadi Onder Afdeling Enrekang.
4.   Kemudian sejak tanggal 27 Desember 1949 sampai 1960, Kawasan Massenrempulu' berubah menjadi Kewedanaan Enrekang dengan pucuk pimpinan pemerintahan disebut Kepala Pemerintahan Negeri Enrekang (KPN Enrekang) yang meliputi 5 (lima) SWAPRAJA, yakni:
·         SWAPRAJA ENREKANG
·         SWAPRAJA ALLA
·         SWAPRAJA BUNTU BATU
·         SWAPRAJA MALUA
·         SWAPRAJA MAIWA
Yang menjadi catatan atau lembaran sejarah yang tak dapat dilupakan bahwa dalam perjuangan atau pembentukan Kewadanaan Enrekang (5 SWAPRAJA) menjadi DASWATI II / DAERAH SWANTARA TINGKAT II ENREKANG atau KABUPATEN MASSENREMPULU'.
Adapun pernyataan resolusi tesebut antara lain:
·         Pernyataan Partai/Ormas Massenrempulu' di Enrekang pada tanggal 27 Agustus 1956.
·         Resolusi Panitia Penuntut Kabupaten Massenrempulu di Makassar pada tanggal 18 Nopember 1956 yang diketuai oleh almarhum Drs. H.M. RISA
·         Resolusi HIKMA di Parepare pada tanggal 29 Nopember 1956
·         Resolusi Raja-raja (ARUM PARPOL/ORMAS MASSENREMPULU') di Kalosi pada tanggal 14 Desember 1956


Sumber: Wikipedia, Pemerintah Kabupaten Enrekang.

0 komentar:

Sejarah Kerajaan Tanralili di Marusu (Kab.Maros)

08.28.00 Unknown 9 Comments

MATA BUGIS, Sejarah Kerajaan Tanralili di Marusu (Kab.Maros)Tanralili merupakan salah satu kerajaan penting dalam jajaran Toddo Limaya Ri Marusu, walaupun pada abad XX Tanralili tidak lagi menjadi bagian dalam Toddo Limaya, karena terjadi peleburan dalam bagian kecamatan. Namun, tetap menjadi satu bagian dalam gallarrang Appaka (kecamatan). Peleburan beberapa eks Toddo Limaya menjadi empat kecamatan, dimaksudkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi di wilayah bekas kerajaan-kerajaan, yang dikenal fanatis dengan adat-istiadat lokal dan agak susah dimasuki tranformasi modern. 
Karena pertumbuhan Tanralili sendiri seiring dengan berdirinya Toddo Limaya Ri Marusu diawal tahun 1700, sehingga pada bagian ini tetap merujuk bahwa Tanralili sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Toddo Limaya Ri Marusu.
Tanralili merupakan kerajaan terbesar kedua dalam jajaran Toddo Limaya, setelah Turikale, yakni Tanralili membawahi 40 Kampung dengan pusat pemerintahan waktu itu di Masale, dan selanjutnya pada masa pemerintahan I Tjalla Karaeng Bunga menjadi raja di Tanralili, maka pusat pemerintahan yang tadinya di Masale di pindahkan ke Bonto Rita dan membangun Baruga di Paramboce (Desa Damai) dan pemukimanan bagi para pengikutnya di Borongloe dan Pallangga (Desa Bontomatene).
Wilayah Tanralili merupakan hamparan dataran tinggi dan dataran rendah yang kurang subur untuk dijadikan perkebunan, yang didiami oleh kelompok masyarakat yang terkenal memiliki temperamen dan watak yang keras dan mudah tersinggung. Mengapa karakter masyarakat Tanralil demikian ? Sebab, komunitas awal Tanralili sangat bergantung dengan alam, dan cukup tertutup dengan komunitas lain, karena daerah pegunungan yang cukup sulit untuk dijangkau.
Disamping itu, kebiasaan umum komunitas Tanralili adalah gemar dengan aktifitas yang bercorak sensasional, petualangan yang berkarakter keras.Hal itulah yang mendasari penamaan daerah ini yaitu Tanralili yang berarti tidak mudah menyerah dan tidak dapat ditundukkan.
Dalam epos dan legend masyarakat Tanralili telah mengenal adanya peradaban purba dengan ditemukannya beberapa situs prasejarah seperti tanrassan di Cindakko, tanrassan di Baru (tanrassan; tempat penempah besi untuk membuat badik), yang dibuat oleh pandai besi yang sakti, gua Rapang-Rapang di Baddo Ujung ( gua Rapang-Rapang; konon, ada sembilan patung manusia yang terbuat dari unsur emas, dengan jenis yang mewakili etnis termasuk bentuk Chines, Japanese, Dutch, dan orang yang duduk batu tannung), Padang Taring (batu taring setinggi 2,5 meter) di Kaluku. Konon batu Padang Taring merupakan tempat persidangan dan pertemuan 3 batara yang kejadiannya ribuan tahun yang lalu.
Bahkan beberapa peneliti sejarah mengungkapkan bahwa turunan dinasti pertama Tanralili (masapurba) banyak menyebar di berbagai negeri kemudian membangun kerajaan baru. Sementara generasi kerajaan purba di Tanralili tidak ada yang tersisa, sehingga yang tertinggal adalah cagar budaya yang tidak terawat namun masih dapat di temui diberbagai tempat.
Ratusan tahun kemudian pada abad XVII pemerintahan di Tanralili dipimpin oleh dua dinasti pokok, yang pertama dinasti Latenri To Marilaleng yang kemudian dikenal sebagai perintis berdirinya kerajaan Tanralili. Berdasarkan versi tuturan dari responden, bahwa penamaan gelar Daeng bagi raja Tanralili diambil dari konvensi yang disepakati para raja di kerajaan Gowa, Bone, dan Luwu, bahwa Tanralili diputuskan sebagai wilayah otonom dengan gelar Daengta bagi raja yang memimpin Kerajaan Tanralili.
Karena raja pertama yang berkuasa di Tanralili kebetulan berasal dari kerajaan Bone yang merupakan salah satu cucu La Patau Sultan Alimuddin Matinroe Ri Naga Uleng raja Bone XVI/ Datu Soppeng XVII yang melahirkan dan menurunkan beberapa raja di kerajaan Bone, kerajaan Luwu, kerajaan Soppeng, kerajaan Gowa. Dari konvensi tiga raja yang berkuasa di tiga kerajaan tersebut yang kebetulan masih kerabatnya, maka memudahkan memberikan penamaan gelar Daengta bagi raja di Tanralili.
Dinasti Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong yang kemudian membawa kerajaan Tanralili terkenal, dan diperhitungkan tidak saja di Marusu, Kerajaan Gowa, Kerajaan Bone. Bahkan kerajaan-kerajaan lain yang berada dalam otonom Celebes.
Pada masa pemerintahan Belanda, kerajaan Tanralili selalu menjadi prioritas dalam penanganan dan pengendalian keamanan. Karena nyaris dalam setiap pergolakan politik di kerajaan Gowa – Tallo. Kerajaan Tanralili dijadikan sentral perjuangan kemudian melebar dan mempengaruhi konflik di kerajaan Gowa – Tallo dan kerajaan Bone.
Dalam tuturan dan catatan masyarakat Tanralili, bahwa Tanralili di beberapa periodik selalu menjadi tempat konsentrasi dimulainya pergolakan politik kekuasaan. Pada masa pemerintahan Raja Gowa XI I Taji Barani Daeng Marompa Karaengta Data, ketika akan memperluas wilayah kerajaan Gowa, dan melakukan serangan terhadap kerajaan Bone yang di jabat Raja Bone VII La Tenrirawe Bongkange Matinroe ri Gucina.
Upaya perebutan kekuasaan oleh I Mappasempa Daeng Mamaro di bantu Arung Matoa Wajo, Arung Kaju dari Bone, dan La Madukelleng, saat akan menduduki kerajaan Tallo dan kerajaan Gowa, memilih Tanralili sebagai base camp penyerangan awal ke kerajaan Tallo.
Batara Gowa I Sangkilan saat menduduki kerajaan Tallo, memilih penyerangan di mulai dari Tanralili dan menyerang pos Belanda di Marusu, dan berikutnya kerajaan Tallo. Kemudian kembali menghimpun kekuatan di Tanralili untuk melakukan serangan kilat ke istana kerajaan Gowa di Jongaya.
Lalu gerakan perjuangan Abu Bakar Karaengta Data pasca perang Beba membuat pemerintahan di beberapa kerajaan bawahan di kerajaan Gowa – Tallo mengalami stagnan dan kevakuman termasuk di Marusu sampai di Pangkajene, implikasi dari perang Beba yang meledak pada tahun 1819 – 1822, membuat beberapa kerajaan bawahan di pedalaman kerajaan Gowa nyaris dikuasai oleh laskar Abu Bakar Karaengta Data seperti, seperti Manuju, Borisallo, Gallarrang Songkolo, dan beberapa kerajaan yang masuk dalam Toddo Limaya ri Marusu hingga di Pangkajene. Dan Tanralili dijadikan sebagai alternatif untuk penampungan bagi laskar dan pengikut militan Abu Bakar Karaengta Data, di bawah pimpinan putra beliau Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong, yang kemudian didaulat sebagai raja Tanralili VI.
1. Asal-usul Raja Tanralili
Dinasti pertama di Tanralili berasal dari Bone pada Lontara silsilah Bone terungkap mengenai cikal-bakal kerajaan Tanralili dan rajanya. Bahwa raja Bone XVI La Patau Sultan Alimuddin Matinroe ri Naga Uleng yang memperistri I Mariama Karaeng Patukangan putri Mappadulung Daeng Mattimu Karaeng Sanro Bone Sultan Abdul Jalil, dari perkawinan tersebut melahirkan tiga putra;
1. La Pareppa To Sappewali Arung Palakka Sultan Ismail dan diangkat menjadi Raja Gowa XX
2. La Padangsajati To Wappareweraja
3. La Pannuangi To Wappamole Sultan Abdullah Mansyur Matinroe ri Beula raja Bone XX. Beliau yang menjadi leluhur di Tanralili.
La Pannuangi To Wappamole Sultan Abdullah Mansyur memperistrikan Siti Hawang putri dari Arung Mampu, dan mempunyai anak La Tenri Page Arung Tungke (Arung Mampu), yang kemudian mengawini salah satu cucu dari ( La Patau dari istri I Maemuna Dala Marusu, red ) dari perkawinan tersebut melahirkan I Manning Arung Petteng yang kemudian diperistri oleh La Tenri To Marilaleng Pawelaiye Kaluku ( putra La To Balang Arung Tanete ) dan melahirkan La Mappaware Daeng Ngirate Karaeng Bulu Ara’na Bulu.
2. Raja yang Memerintah di Kerajaan Tanralili.
La Mappaware Daeng Ngirate Karaeng Bulu (1697 - 1711)
Adalah raja pertama Tanralili sehingga ia bergelar Batara Tanralili, asal-usulnya telah dijelaskan pada bagian depan. Permaisurinya bergelar Manurung ri Ba’lasa Karaengta Allaere (bulu Ba’lasa; desa Bontomanurung, red). Berdasarkan penuturan masyarakat dari berbagai sumber, bahwa La Mappaware merupakan pengembara yang berasal dari Bone dan bertemu dengan To Manurung dari bulu Ba’lasa. Dari perkawinannya melahirkan Daengta Tanralili. Sementara Kalompoang yang disimpan adalah Regelia bernama Bulaengta, lontaranya bernama Bakkasa, dan azimatnya bernama La Sikapang. Setelah beliau wafat bergelar Karaeng Bulu.

Daengta Tanralili Matinroe ri Masale (1711 - 1729)
Daengta Tanralili mengawini We Mantasabbe Daeng Lunga putri dari kerajaan Luwu, yang mempunyai anak 3 orang putra;
I Lele Daeng Ri Moncong Matinroe ri Tallo
I Panjanggau Daeng Mamala Matinroe ri Solojirang
I Malluluang Daeng Manimbang Matinroe ri Cidu Toa
3. I Lele Daeng Ri Moncong Matintoe Ri Tallo (1730 – 1735)

Pada masa pemerintahannya ia lebih banyak menjalin hubungan komunikasi
ke kerajaan Gowa, Bahkan Tanralili menjadi salah satu kerajaan bawahan dari kerajaan Gowa. Maka suatu ketika terjadi persilihan faham dengan raja Gowa, yang menyebabkan dirinya siri’ untuk kembali ke Tanralili. Sehingga mengambil keputusan menetap di Tallo hingga akhir hayatnya dan bergelar Karaeng Tanralili Matinroe ri Tallo.
4. I Panjanggau Daeng Mamala Matinroe Ri Solojirang (1735 -1781)
Ia tercatat sebagai raja yang anti Belanda, bahkan sering mengadakan perang puputan bersama dengan istrinya Zaenab Daeng Matasa yang menyebabkan keduanya gugur dalam pertempuran melawan Belanda. Pada masa pemerintahannya banyak memberikan fasilitas terhadap perjuangan Batara Gowa I Sangkilan. Bahkan dalam pendudukan wilayah Marusu dan kerajaan Tallo (Batara Gowa I Sangkilan; 1777) I Panjanggau Daeng Mamala punya andil dan advice yang besar. Beliau dikebumikan di tepi Sungai Maros, beberapa keturanannya kemudian menjalin hubungan perkawinan antara Tanralili dengan Simbang, Turikale, dan Bontoa.
5. I Malluluang Daeng Manimbang Matinroe ri Cidu Toa (1781 – 1819)
I Malluluang Daeng Manimbang memperistri I Ripa Daeng Cani Sugi Bontopadingin. Salah satu anaknya yang bernama Petta Tiro yang kemudian menempatkan keturunannya menjadi Karaeng Turikale, Karaeng Simbang, dan bahkan beberapa keturunanannya kemudian menjadi Syech Besar di Tarekat Khalwatiah di Leppakomai dan Pate’ne. Saat I Malluluang wafat terjadi kevakuman di kerajaan Tanralili, karena dampak dari perang puputan Abu Bakar Karaengta Data di mana wilayah kerajaan Tanralili menjadi basis perjuangan dan pertahanan yang dikuasai oleh pasukan Abu Bakar Karaengta Data, yang selalu menyerang kekuatan Belanda di Maros dan Pangkep.
Saat itu, Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong yang menjabat sebagai salah satu panglima perang laskar kerajaan Bone, banyak dibantu pasukan gabungan dari laskar kesatuaannya (pengikut setia Abu Bukar Karaengta Data) yang disiapkan di Tanralili dan laskar Tanralili sendiri dalam menjaga stabilitas keamanan Bone selatan dan Tanralili. 
Beberapa tahun kemudian setelah perang Abu Bakar Karaengta Data berakhir pada tahun 1826, maka salah satu cucu dari I Malluluang Daeng Manimbang yang bernama I Pawawoi Daeng Tula, yang saat itu berperan sebagai Salewatan Tanralili (Sallewatan; pejabat pemerintahan yang melaksanakan pemerintahan atas belum adanya pengangkatan Karaeng). Ia berinisiatif bersama masyarakat setempat mendudukkan putra Karaengta Data untuk jadi raja di Tanralili. Dengan alasan, ‘’Bahwa Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong lebih pas didaulat jadi raja di Tanralili, untuk mengantar rakyat Tanralili kearah yang lebih baik.’’
6. Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong (1826 -1870)
Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong, merupakan putra ketiga Abu Bakar Karaengta Data dari istrinya yang ketiga I Ranti Daengta Nisayu yang berasal dari manurung Parigi (Gowa). Tjalla Karaeng Bunga dibesarkan dalam lingkungan patriotik laskar militan Abu Bakar Karaengta Data. Dalam usia remaja sudah melibatkan diri dalam perang besar di Beba, pada saat itu pasukan ayahandanya yang berjumlah 3000 prajurit, dihadapkan dengan pasukan gabungan Belanda, kerajaan Gowa dan kerajaan sekutu Belanda mengepung kekuatan pasukan Karaengta Data.
Pertempuran tidak berimbang waktu, tidak menyiutkan nyali laskar Karaengta Data, sehingga pertempuran itu dikenal dengan perang Amok yang heroik. Dimana kedua belah pihak mengalami korban yang besar, dan bagi Belanda perang Beba merupakan perang histeris karena mengalami pengorbanan yang jauh lebih besar, kehilangan prajurit pilihan ratusan orang, arsenal dan armada laut banyak yang dikaramkan.
Sementara laskar Abu Bakar Karaengta Data beserta keluarganya masih dapat meloloskan dan menyebar di berbagai tempat di pedalaman Borisallo, Manuju, Parigi, Tombolo, Tanralili, Jeneponto, Takalar. Pasca perang Beba, Tjalla Karaeng Bunga mengungsi ke kampung Ponre di kerajaan Bone, dengan rute perjalanan dari Passibungan, Galesong, Limbung, Pallangga, Parangbanoa, Kampung Lanna, Borisallo, Gantarang, Kampung Ponre Bone.
Di kampung Ponre dalam wilayah kerajaan Bone Tjalla Karaeng Bunga bersama dengan pengawal setia ayahandanya yang menjadi pengasuhnya membuka lahan pertanian. Hingga suatu ketika dalam kebun yang ditanami ubi jalar ada seekor babi siluman yang kebal dengan senjata tajam, oleh orang kampung di Ponre babi tersebut selalu meresahkan masyarakat, bahkan cerita babi suliman tersebut sudah sering jadi obyek pembicaraan di kalangan petinggi kerajaan Bone. Karena terlalu meresahkan dan telah banyak penduduk yang jadi korban keganasannya.
Maka saat binatang tersebut muncul dalam lokasi pertanian yang dikelolah Tjalla Karaeng Bunga, oleh salah satu pengawalnya menombak binatang tersebut dan membawa kabur ’Tombak Kanjai’ milik Tjalla Karaeng Bunga. Sementara binatang yang tertombak kabur dan mati di perkampungan terdekat dan jadi tontonan masyarakat kampung. Kabar matinya babi siluman tersebut sampai di salah satu punggawa kerajaan Bone, dan tombak Kanjai yang tertancam di punggung babi tersebut diambil dan dibawa ke istana kerajaan Bone untuk dilaporkan ke raja Bone.
Raja Bone yang memegang tombak Kanjai lalu mengamati dengan seksama, dan menanyakan bahwa siapa yang menombak binatng itu, dan siapa pemilik tombak Kanjai tersebut. Punggawa kerajaan yang mendapati tombak itu, lalu menyampaikan bahwa berdasarkan informasi penduduk bahwa tombak tersebut berasal dari kampung Ponre yang pemiliknya berasal dari Gowa.
Raja Bone yang mendengar bahwa pemilik tombak tersebutt berasal dari Gowa, dengan serta merta memerintahkan punggawanya mengembalikan dan menyampaikan bahwa raja Bone mau bertemu dengan pemilik tombak Kanjai tersebut. Maka punggawa kerajaan Bone berangkat ke kampung Ponre menemui Tjalla Karaeng Bunga dan menyampaikan bahwa raja Bone mau bertemu dengannya.
Beberapa hari kemudian Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong berkunjung ke istana dan menemui raja Bone. Setelah berbincang beberapa saat raja Bone berpesan dan meminta agar Tjalla karaeng Bunga sudi tinggal di kerajaan Bone, ’’ Tinggallah di sini nak membantu kakekmu, nanti setelah panen baru kita keluar ke kerajaan Gowa.’’
Di kerajaan Bone Tjalla Karaeng Bunga di beri posisi strategis dengan jabatan salah satu panglima perang kerajaan. Semasa panglima perang pada tahun (1820 – 25) berkali-kali ia menyerang posisi Belanda di Marusu. Bahkan setiap melakukan serangan ke kekuatan Belanda dan kerajaan Gowa di Marusu, ia selalu menggunakan sisa laskar ayahandanya yang telah menetap di Tanralili, sementar laskar pasukan dari kerajaan Bone di jadikan sebagai pembackup pasukan.
Karena seringnya melakukan tekanan dan gangguan terhadap kekuatan Belanda dan kerajaan Gowa, maka asisten Gubernur yang berkedudukan di Pangkajene meminta Gubernur Belanda di Makassar, agar membicarakan dengan raja Bone, raja Gowa, bagaimana strategi meredam gejolak tersebut.
Maka gubernur Belanda di Makassar bersepakat dengan raja Gowa untuk menawarkan beberapa alternatif kerajaan di Maros untuk menjadi otonomi dari Tjalla Karaeng Bunga. Mendengar niat Belanda dan raja Gowa, maka I Pawawoi Daeng Tula dengan senang hati menawarkan ke Tjalla Karaeng Bunga, agar ia memilih Tanralili sebagai pilihan. Karena Tanralili merupakan basis perjuangan kakeknya Batara Gowa I Sangkilan dan ayahandanya Karaengta Data. Tanralili juga bersebelahan dengan kerajaan Gowa dan kerajaan Tallo.
Atas saran dan permintaan I Pawawoi Daeng Tula Salewatan Tanralili I, ’’... Inai paleng langngerangi Tanralili mange ri kalabiranna, ka i kambe ji nak siratanna ni paempo jari Karaeng... ’’ maka Tjalla Karaeng Bunga menerima Tanralili sebagai pilihannya, dengan konsekuensi bahwa, ‘’...kukarannuangmi ri minasanta ngaseng ki paempoa ri kalabirang mingka ki kambeya rimapparentaku...’’ Dengan pertimbangan strategis bahwa Tanralili merupakan komunitas yang fanatis dan militan dalam memperjuangkan hak-hak universal. Bahwa komunitas Tanralili selama ini banyak menyumbang Tubarani dalam perjalanan sejarah kerajaan Gowa.
Pada masa pemerintahannya sebagai raja Tanralili, ia banyak didampingi saudaranya dalam pengambilan kebijakan dan keputusan seperti I Galesa Karaeng Ri Burane (I Pelo Karaeng Panrita), I Sakodana Karaeng Sila (Rajabagus), dan adiknya I Tajibarani Karaeng Tarang. Begitu juga dalam pelaksanaan pemerintahan ia mempercayakan pada I Pawawoi Daeng Tula sebagai Salewatan Tanralili, dan beberapa pengawal pribadi ayahandanya yang dijadikan sebagai penasehat dalam pengambilan keputusan.
Oleh para saudaranya dan mantan para pengawal pribadi ayahandanya, berniat membesarkan Tanralili sebagai basis kekuatan kekuatan inti sesuai amanah dan pesan Abu Bakar Karaengta Data, saat terpisah di perang Beba di kampung Passimbungan. Mereka bersepakat, bahwa walaupun Tanralili itu dibatasi kewenangannya sebagai salah satu kerajaan bawahan (regent).
Namun, Tanralili harus menguasai wilayah seluas-luasnya hingga berbatasan dengan kerajaan Gowa – Tallo, dan menjalin hubungan yang bagus dan harmonis dengan kerajaan tetangga dan kerajaan lain yang sepaham dan berpandangan sama tentang katojengan, siri na pacce sebagai pijakan bagi pemerintah. Keuletan para kerabat dan saudaranya memperluas pengaruh dan wilayah kerajaan Tanralili, tidak terlepas dari stagnan pemerintahan kerajaan Gowa dan pemerintahan Belanda pasca kerusuhan besar akibat perang Abu Bakar Karaengta Data.
Akibat dari kerusuhan itu, maka kepercayaan masyarakat pedalaman dan kerajaan bawahan dalam otonomi kerajaan Gowa dapat dikatakan melemah pengaruhnya. Karena pemerintah kerajaan di sibukkan dengan gejolak pemberontakan dan gerakan separatis yang melakukan kekacauan di daerah pedalaman. Sehingga pihak kerajaan Gowa tidak mampu lagi mengawasi pemerintahan dan ketertiban masyarakat. Maka, kampung-kampung yang kebetulan berdampingan dengan Tanralili dengan sukarela menggabung dalam pemerintahan Tanralili.
Di masa pemerintahan Tjalla Karaeng Karaeng Bunga sebagai raja Tanralili, kerajaan Tanralili mengalami banyak kemajuan dengan bergabungnya beberapa kampung Makkaraeng, Kadieng, Bontoa, Batutambung, Daya, Romang Polong hingga batas sepanjang sungai Tallo. Karena luasnya wilayah dan perkampungan penduduk yang harus dikawal.
Dengan pertimbangan strategis bahwa untuk memajukan Regent Tanralili maka pusat pemerintahan Tanralili yang sebelumnya berkedudukan di Masale, kemudian di pindahkan ke Bonto Rita dengan mendirikan Baruga di Parang Boce pada tahun 1828 sebagai Centre Goovernance of Regent Tanralili. Bahwa pusat pemerintahan bila berada di dataran rendah akan lebih terbuka, dan akan banyak dikunjungi oleh orang dan komunikasi dengan perkampungan luar dan negeri sahabat akan lebih mudah berkoordinasi untuk memajukan pola pandang dan pembangunan komunitas ke depan. 
Dengan pergeseran pusat pemerintah dari Masale ke Parangboce, maka dengan sendirinya terjadi pembukaan pemukiman baru bagi kerabat dalam jarak 500 meter dari sebelah utara pemukiman penduduk di Tompobalang dan Bonto Cinde, sebelah timur pemukiman penduduk di Pammelakkang dan Biringkaloro, sebelah selatan pemukiman penduduk Patadang dan Borongloe, sebelah barat pemukiman penduduk Pallangga dan Pasaikang. Ia juga membuka pemukiman di Amarang dan Billa yang didiami oleh keluarga terdekat (famili gruop).
Pembukaan pemukiman penduduk dengan sistim sulapa appa, dimaksudkan sebagai sistem pertahanan terbuka dari lingkar terluar untuk mendeteksi dan mengantisipasi ancaman dari luar. 
Dimasa pemerintahannya peran Karaeng Binea (Djira Karaeng Kalukuan; istri, dan pada sisi lainnya adalah masih tantenya sendiri, karena dikuatirkan akan diambil dan diperistri oleh tuan Besman) penguasa assisten gubernur Belanda di Maros dan Pangkajene.
Peran strategis Karaeng Kalukuan dalam mengembalikan tanah adat dari Karaeng Bisei yang sebelumnya dikuasai Belanda, kemudian dikembalikan kepimilikannya oleh Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong ke istrinya Djira Karengta Kalukuan, dengan alasan bahwa tanah adat tersebut adalah milik dari Karaeng Bisei dan Djira Karaeng Kalukuan adalah pewaris dari tanah adat tersebut.
Untuk menghindari konflik lahan dikemudian hari, maka Djira Karaengta Kalukuan berinisiatif mengawinkan dua anak binaannya dengan keponakannya dari anak Karaeng Bisei. Karaeng Kalukuan lalu menyarankan agar dilakukan perkawinan silang antara putra-putri dari saudaranya dengan putra-putri Tjalla Karaeng Bunga dari Karaeng Baji dan Karaeng Suji.
Lalu pada tahun 1845 dilakukan perkawinan kembar di Baruga Paramboce antara Fatahulla Karaeng Tayang anak dari Karaeng Baji dikawinkan dengan Karaeng Padja putri dari Karaeng Bisei I, dan Hamdja Karaeng Taba putra dari Karaeng Bisei dikawinkan dengan Karaeng Labbi putri dari Karaeng Suji. Setahun kemudian Nyimpung Karaeng Lallo anak kedua dari istrinya yang pertama Karaeng Suji dikawinkan dengan Dani Karaeng Ngati anak dari Karaeng Nya’la (bersaudara dengan Karaeng Sissing) cucu dari Karaeng Bisei Toa.
Pada tahun 1868 muncul gerakan separatis untuk menggulingkan raja Gowa XXXII I Kumala Sultan Abdul Kadir Muhammad Aidid, yang di lakukan kompatriot Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong, yang dipimpin oleh Gallarrang Mangasa Mannyereang Daeng Serang, Gallarrang Songkolo Garancing Daeng Malala (Bapak Pento), dan Gallarrang Moncongloe Apabang. Mareka mencoba melakukan Coup agar raja Gowa turun dari tahtanya, supaya Tjalla Karaeng Bunga dapat menggantikannya. Tetapi upaya itu digagalkan oleh gubernur Belanda di Makassar, dan Gallarrang Mangasa di penjarakan.
Sementara Tjalla Karaeng Bunga mendapat teguran keras dari gubernur Belanda, agar tidak melibatkan diri dalam gerakan sosial, sejak peristiwa itu ruang gerak Tjalla Karaeng Bunga mulai dibatasai oleh penguasa Belanda. Karena di takutkan bila gerakan sosial dan provokasi para kolega Tjalla Karaeng Bunga yang menyebar di berbagai raja-raja bawahan di kerajaan Gowa akan sulit dipadamkan bila mereka merapatkan barisan untuk mengusung Tjalla Karaeng Borong sebagai raja Gowa yang baru.
7. Fatahulla Karaeng Tayang (1871 – 1877)
Setelah ayahandanya wafat Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong Karaeng Tanralili ke 6 pada tahun 1870. Maka Fatahulla Karaeng Tayang menggantikan ayahandanya sebagai karaeng Tanralili, Fatahulla Karaeng Tayang merupakan putra pertama Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong dari istrinya Karaeng Baji yang berasal dari kerajan Selayar.
Beliau merupakan anak tunggal dari istri keduanya yang berasal dari kerajaan Selayar, yang kemudian dikawinkan pada tahun 1845 dengan Karaeng Padja anak dari Karaengta Bisei I (kemanakan dari Djira Karaengta Kalukuan istri dari Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong). 
8. Nyimpung Karaeng Lallo (1877 – 1898)
Karena pertimbangan kesehatan dan ketidakmampuan untuk menjalankan pemerintahan, maka Fatahulla Karaeng Tayang menyerahkan tampuk pimpinan ke adiknya Nyimpung Karaeng Lallo anak ketiga Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong dari istri pertamanya Batari Karaeng Suji.
Pada masa pemerintahan Nyimpung Karaeng Lallo sebagai karaeng Tanralili ke 8, mengalami banyak kemajuan bagi Tanralili, baik dari segi peningkatan keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Konon dimasa pemerintahannya sangat tegas terhadap berbagai tindak kejahatan, maka banyak kerabat dari kakeknya yang menjalin hubungan kerjasama dengan Tanralili, seperti bangsawan dari Bone, Bantaeng, Gowa, Polongbangkeng, Selayar, Manuju, Borisallo, Parigi.
Bahkan, ia dengan sukarela mengirimkan bantuan Tubarani dari Tanralili ke daerah konflik bilamana kerajaan kerabatnyamengalami gangguan dari kelompok separatis yang mengganggu stabilitas keamanan. Maka tidak mengherankan bila raja-raja dari kerajaan kerabatnya mempunyai hubungan emosional dengan Tanralili.
Maka tidaklah mengherankan saat akan diasingkan ke Bima, para kerabat dan keluarganya dari selatan ingin melakukan pemberontakan dan membakar Bandar Makassar saat akan diasingkan ke Bima. Karena tidak menerima perlakuan pemerintah Belanda terhadap Nyimpung Karaeng Lallo yang akan diasingkan ke Bima. Para kerabat dan keluarga berdatangan dari Polongbangkeng, Bantaeng, Bone, Gallarang Songkolo meminta ke pemerintah Belanda agar membatalkan pengasingannya ke Bima bersama putra pertamanya Toe Karaeng Gajang. Beliau kemudian wafat di Dompu Bima.

Nyimpung Karaeng Lallo beristrikan Dani Karaeng Ngati, dengan 4 orang anak; Toe Karaeng Gajang, Bandu Karaeng Palallo, Bode karaeng Djai, dan Tumaning Karaeng Tuni. Selain Dani Karaeng Ngati sebagai istri pertama, ia juga mengawini kemanakan dari Karaeng Bossolo yang bernama Daeng Bollo yang kemudian melahirkan Mattoreang Karaeng Ramma.
9. Toe Karaeng Gajang Karaeng Ta’lea ri Bima (1899 – 1906)
Karena faktor usia dan kesehatan maka pemerintahan karaeng Tanralili lalu diserahkan ke putranya Toe Karaeng Gajang sebagai karaeng Tanralili ke 9, beliau menggantikan ayahandanya secara resmi pada tahun 1899 – 1906. Dalam masa pemerintahannya sebagai karaeng Tanralili, dikenal idealis dan militan dalam menyelesaikan masalah.
Tindakan-tindakannya sangat keras dan banyak bertentangan dengan pemerintahan Belanda yang waktu itu masih berkuasa. Banyak kebijakannya yang merugikan pihak Belanda, sehingga pemerintahan Belanda turut diresahkan akan sepak terjang Toe Karaeng Gajang yang terlalu idealis.
Atas tindakan dan kelakuannya yang idealis dan militan lalu beliau kemudian diasingkan ke Bima, ayahandanya kemudian ikut mendampinginya di buang ke Bima. Karena Nyimpung Karaeng Lallo menyayangkan putranya diasingkan sendiri ke Bima, sebab usianya masih terlalu muda untuk menjalani hidup yang keras di pengasingan. Maka dengan sukarela dan ikhlas ayahandanya turut serta mendampingi anaknya diasingkan ke Bima.
Selama masa pengasingan beliau digantikan adiknya I Bandu Karaeng Palallo sebagai Salewatan Tanralili II, sampai adanya pengganti karaeng Tanralili secara resmi yang diputuskan berdasarkan konvensi adat. 
10. Punru Daeng Mangati Matinroe Ri Bengkalis (1908 – 1916)
Punru Daeng Mangati adalah putra dari Pacoloi Daeng Mangoyo dari istrinya I Banna Petta Nurung ( salah anak dari Arung Ponre di Bone). Konon, akibat penghianatan seorang Landzat Pribumi, lalu diasingkan ke Bengkalis Sumatera, hingga wafat dan dimakamkan di Bengkalis.
Punru Daeng Mangati memperistri Raden Halija Daeng Ratang anak dari tuan Jaksa Landrad Maros ( Raden Mas Sukaraja ).
11. Abdul Gani Karaeng Romo (1916 – 1925)
Ayahandanya bernama Raden Mas Abdul Fattah adalah cucu dari Pangeran Dipanegoro. Raden Mas Abdul Fattah kemudian memperistri Baliang Karaeng Tanang (anak dari Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong dari istri ke 4 yang bernama Daeng Ngimi). Abdul Gani Karaeng Romo kemudian memperistri Siti Basari Karaeng Labbi anak dari Bandu Karaeng Palallo Salewatan Tanralili II. 
12. Andi Nanggong Karaeng Matimu (1925 – 1930)
Andi Nanggong Karaeng Matimu, sebelunya adalah juru tulis Karaeng Tanralili yang digantikan, ketika Abdul Gani Karaeng Romo mengundurkan diri, dan digantikan oleh Andi Nanggong Karaeng Mattimu.
Andi Nanggong Karaeng Mattimu, memang berhak memangku jabatan Karaeng Tanralili karena ibundanya yang bernama Bode Karaeng Jai merupakan anak dari Nyimpung Karaeng Lallo Karaeng Tanralili ke – 8. Dari perkawinan Bode Karaeng Jai dengan Andi Muhammad Ali Kareang Lira Karaeng Labbakkang, yang kemudian melahirkan Andi Nanggong Karaeng Mattimu.
Andi Nanggong Karaeng Mattimu kemudian diberhentikan dari Karaeng Tanralili ke 12, dan kemudian diangkat sebagai Karaeng Segeri oleh gubernement 
13. Andi Abdullah Daeng Matutu (1930 – 1952)
Abdullah Daeng Matutu, sesungguhnya berasal dari Turikale dan Simbang, sebab ibunya bernama Sahada Daeng Ningai adalah anak dari La Umma Daeng Manrapi karaeng Turikale III. Berarti ibunya masih bersaudara dengan Patahuddin Daeng Parumpa Karaeng Simbang X.
14. Andi Badudin Daeng Manuntung (1952 – 1963)
Andi Baduddin Daeng Manuntung adalah putra dari Andi Fahrudin Daeng Sila Karaeng Imam Simbang dan I Dawani Daeng Bau anak dari Gallarrang Kodingareng, Andi Fahrudin merupakan adik kandung dari Andi Abdullah Daeng Matutu Karaeng Tanralili XIII.

Andi Badudin Daeng Manuntung, merupakan karaeng Tanralili XIV dan yang terakhir, karena Distrik Tanralili kemudian dilebur menjadi kecamatan Mandai. Andi Badudin kemudian menjadi salah satu staf di kecamatan Mandai, kemudian diangkat menjadi camat di Bantimurung
Artikel ini di ambil dari beberapa sumber, penulis tidak melakukan kajian lebih mendalam akan kebenaran sejarahnya.

9 komentar:

Sejarah Penamaan Air Terjun Bantimurung

05.12.00 Unknown 0 Comments

Sejarah Penamaan Air Terjun BantimurungBantimurung adalah salah satu objek wisata alam yang banyak di favoritkan oleh para Penjajak Wisata, selain kesegaran Air Terjun yang menjadi Objek, Bantimurung juga memberikan beragam atraksi wiswata yang menarik. Jika berada dikawasan Wisata Alam Bantimurung para Wisatawan akan merasakan kesejukan udaranya, juga berbagai objek yang disuguhi seperti flyingfox, Gua Batu, Gua Mimpi, Kolam Jodoh dan yang tak kalah menariknya, Bantimurung dikenal hingga mancanegara karena memiliki spesies kupu – kupu terbanyak di Dunia dengan julukannya The Kingdom Of Butterfly. Lokasi Kawasan Wisata Bantimurung sangat strategis bisa dijangkau dari berbagai jurusan dan dilintasi oleh jalan lintas Kabupaten Maros-Bone menjadikan lokasi ini semakin menarik untuk dikunjungi, Objek wisata ini tak jauh dari Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan. Terletak di Kabupaten Maros, jika dari Makassar hanya berjarak ± 42 km dan dari Bandara Internasional Sultan Hasanuddin pun hanya berjarak ± 24 km dan dapat ditempuh dalam waktu ± 1 jam dengan menggunakan kendaraan roda empat

Namun tahukah anda, dibalik dari pesona wisata yang menarik, Bantimurung juga menyimpan kisah historis yang begitu menarik. Berawal dari perjanjian Bungaya I dan II pada Tahun 1667 – 1669.

Baca : Bantimurung Objek Wisata Terbaik di Sulawesi Selatan

Pada waktu itu, Maros adalah kawasan yang dikuasai langsung oleh Penjajah (Belanda). Hal tersebut  kemudian membuat wilayah Kerajaan atau Pemerintahan Maros pada waktu itu menjadi regentschaap dimana setiap pemimpin yang ditunjuk adalah mereka yagn berdarah bangsawan dengan label KARAENG atau ARUNG.

Pada waktu itu, wilayah Batimurung disebut dengan Kerajaan SIMBANG yang dikuasai oleh PATAHUDDING DAENG PAROEMPA (1923). Beliau membuat proyek dengan membangun jalanan guna menghubungkan Daerah lainnya. Rencananya pembuatan jalan tersebut akan membela daerah hutan belantara. Namun, suatu waktu pekerjaan tersebut terhambat akibat terdengarnya bunyi menderu dari dalam hutan yang menjadi jalur pembuatan jalan tersebut. Saat itu, para pekerja tidak berani melanjutkan pekerjaan membuatan jalan karena suara gemuruh tersebut begitu keras. Karaeng Simbang yang memimpin langsung proyek ini lalu memerintahkan seorang pegawai kerajaan untuk memeriksa ke dalam hutan belantara asal suara itu.

Usai sang pegawai kerajaan memeriksalokasi, Karaeng Simbang lalu bertanya,Aga ro merrung? (bahasa Bugis: suara apa itu yang bergemuruh?). Benti, Puang, (Air, Tuanku), jawab sang pegawai tadi. “Benti” dalam bahasa Bugis halus berartiair. Kosa kata seperti ini biasanya diucapkan seorang hamba atau rakyat jelata ketika bertutur dengan kaum bangsawan. Mendengar laporan tersebut, Karaeng Simbang lalu melihat langsung asal sumber suara gemuruh dimaksud. Sesampainya di tempat asal suara, Karaeng Simbang terpana dan takjub menyaksikan luapan air begitu besar merambah batu cadas yang mengalir jatuh dari atas gunung. Ia lalu berujar, Makessingi kapang narekko iyae onroangngnge diasengi Benti Merrung!(Mungkin ada baiknya jika tempat ini dinamakan air yang bergemuruh).


Adapun Karaeng Simbang wafat pada 1957, dan dimakamkan di belakang Masjid Pakalu (salah satu kampung dalam wilayah Kerajaan Simbang, sekarang bernama Lingkungan Pakalu dalam wilayah Kecamatan Bantimurung), yang dibangun dengan dana swadaya di atas tanah pribadinya. Karena itulah, ia bergelar Matinroe ri Masigina (yang dimakamkan di mesjidnya). Nama lengkapnya, Patahoeddin Daeng Paroempa Sultan Iskandar Muda Matinroe ri Masigina.

0 komentar:

Asal Usul Gelar ”ANDI” pada Bangsawan Bugis dan Makassar

03.24.00 Unknown 1 Comments

Asal Usul Gelar ”ANDI” pada Bangsawan Bugis dan Makassar
Asal-usul gelar andi yang disematkan di depan nama BANGSAWAN BUGIS-MAKASSAR memang menjadi pertanyaan banyak orang. Gelar ini pada dasarnya hanya diperuntukkan bagi keturunan “ Ana’Pattola/Ana’ Ti’no’/Ana’ Matasa’ “ dari garis keturunan laki-laki, artinya tidak semua bangsawan Bugis-Makassar semisal Puang, Opu, Petta atau KaraEng bisa menyematkan gelar tersebut di depan namanya, sedang “Andi” mutlak menyandang Puang, Opu, Petta atau KaraEng.
Bermacam-macam pendapat dari para sejarawan atau cerita orang-orang tua dulu pada awal mula munculnya gelar andi di dalam masyarakat bugis, namun belum ada yang dapat menunjukkan bukti atau sumber yang benar-benar dapat dijadikan referensi mutlak. Dari beberapa sumber yang kami dapatkan, maka dapat diuraikan secara singkat tentang penggunaan nama Andi sebagai gelar yang digunakan para bangsawan Bugis.Sebutan "Andi" adalah sebutan alur kebangsawanan yang diwariskan hasil genetis La Patau Matanna Tikka Walinonoé To Tenri Bali Malaé Sanrang Petta Matinroé ri Nagauléng, Raja Bone XVII, (keturunan bangsawan bugis-makassar dari garis “Laki-Laki”).
Penggunaan ANDI beragam di setiap Wilayah Kerajaan. Soppeng misalnya hanya mengatur bahwa gelar Andi adalah bangsawan pada derajat keturunan ketiga, artinya “ANDI” hanya dapat disematkan oleh Bangsawan Murni (Ana’Pattola/Ana’Ti’no/Ana’Matasa’) yang kawin dengan orang biasa/kebanyakan dan diikuti perkawinan yang sama oleh keturunan kedua dan ketiga, selebihnya tidak dapat lagi menyematkan gelar tersebut. sementara Wajo dan Bone sampai keturunan ketujuh.
Dari sumber berikutnya dapat kami uraikan sebagai berikut. Gelar kebangsawanan "Datu" adalah gelar yang sudah ada sejak adanya pemerintah Bugis, di Luwu misalnya, semua raja bergelar Datu, dan Datu yang berprestasi bergelar Pajung, jadi tidak semua yang bergelar Datu disebung Pajung. Sama halnya di Bone, semua raja bergelar Arung, tapi tidak semua Arung bergelar Mangkau, hanya arung yang berprestasi bergelar Mangkau . Begitu juga di Makassar atau Gowa, semua bangsawan atau raja-raja bergelar Karaeng, hanya yang menjadi raja di Gowa yang bergelar Sombaiya. Gelar kebangsawanan lainnya, menurut kepada pemerintahan atau panggaderen di bawahnya, seperti Sulewatang, Arung, Petta, dan lain-lain . Jadi gelar itu sesuai terhadap jabatan yang didudukinya. Sementara untuk keturunannya yang membuktikan sebagai keturunan bangsawan, di Makassar dipanggil Karaeng. sedang di Bugis disebut Puang, dan di Luwu dipanggil Opu.
Salah satu versi menyebutkan bahwa adapun gelar Andi, pertama-tama yang menggunakannya adalah Andi Mattalatta untuk membedakan antara siswa dari turunan bangsawan dan rakyat biasa. Dan gelar Andi inilah yang diikuti oleh turunan bangsawan Luwu, dan Makassar. Jadi di zaman Andi Mattalattalah gelar ini muncul. Gelar "Andi" baru ada setelah era Pemerintah Kolonial Belanda (PKB). Setelah 1905, Sulawesi Selatan benar-benar ditaklukkan Belanda dan terjadi kekosongan kepemimpinan lokal. Tahun 1920-1930an PKB mencanangkan membentuk Zelf Beestuur (Pemerintah Pribumi / Swapraja) yang dibawahi oleh Controleur (Kantor Belanda) untuk Onder Afdeling.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah, jika memang Andi diidentikan dengan Belanda, mengapa pejuang kemerdekaan (Datu Luwu Andi Jemma, Arumpone, Andi Mappanyukki, Ranreng tuwa Wajo Andi Ninnong) tetap memakai gelar Andi didepan namanya sementara mereka justru menolak dijajah? tapi juga harus diakui bahwa ada juga yang berinisial Andi yang tunduk pada PKB. Nah ini yang kita harus bijak menilai antara gelar dan pilihan personal terhadap kemerdekaan / penjajahan. Secara umum Bangsawan Bugis berasal dari pemimpin-pemimpin anang / desa / wanua sebelum datangnya To Manurung / To Tompo. Pimpinan-pimpinan desa ini yang selanjutnya disebut Kalula / arung dengan nama alias / gelar berbeda-beda yang disesuaikan dengan nama desa / kondisi / perilaku bersangkutan yang dia peroleh melalui pengangkatan / pengangkatan oleh sekelompok anang / masyarakat maupun secara kekerasan (perang bersenjata) yang selanjutnya diwariskan secara turun-temurun kepada ahli warisnya, kecuali jika dikemudian hari ternyata dia ditaklukkan dan diganti oleh penguasa yang lebih tinggi / kuat. Sedangkan To Manurung dan To Tompo yang, 'asal usul' dan 'namanya' terkadang tidak diketahui dan segala kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, oleh sekelompok pimpinan Kalula / arung / Matoa sepakat untuk mengangkatnya menjadi ketua kelompok dikalangan Kalula / arung yang selanjutnya menjadi penguasa / raja yang berarti pula pondasi dasar sebuah pemerintahan / negara telah terbentuk-dimana tanah / wilayah, pemimpin / penguasa dan pengakuan dari segenap rakyat sudah terpenuhi.Penguasa / Raja biasanya kawin dengan sesama To Manurung / To Tompo [jika dia 'ada' / muncul tanpa didampingi pasangannya] dan pada tahap awal cenderung mengawinkan anak-anaknya dengan bangsawan lokal yang sudah ada sebelumnya. Ketika pemerintah-pemerintah kecil tadi dalam perkembangannya menjadi kerajaan besar , barulah perkawainan anak antar-pemerintah mulai diterapkan oleh Arung Palakka.
"Andi" ini dimulai ketika 24 Januari 1713 dipakai sebagai extention untuk semua keturunan hasil perkawinan Lapatau dengan putri Raja Bone sejati, Lapatau dengan putri Datu Luwu, Lapatau dengan putri raja Wajo, Lapatau dengan putri Sultan Abdul Jalil bin Sultan Hasanuddin (Sombayya Ri Gowa), Anak dan cucu Lapatau dengan putri Datu Suppa dan Tiroang. Anak dan cucu Lapatau dengan putri raja sejumlah kerajaan kecil yang berdaulat di Celebes (istri2 beliau disebut “Dala”). Termasuk keturunan dari La Maggumetteng Arung Sinri, putra Baginda La Patau dengan “St.Maemuna Dala Marusu”, Putri KaraEng Marusu’ Angsakayaia Binangana Marusu’.
Perkawinan tersebut sebagai upaya VOC untuk membangun dan mengoperasikan sosiologi baru di Celebes. Dan dengan alasan ini pula maka semua bangsawan laki-laki yang potensial pasca perjanjian bungaya, yang extrim dikejar sampai ke pelosok nusantara dan yang softly diminta tinggalkan bumi Sawerigading (Celebes).Siapa yang pungkiri kalau (Alm) Jenderal Muhammad Yusuf adalah bangsawan Bugis (putra dari Arung Kajuara) tetapi dia enggan memakai produk exlusivisme buatan VOC. Ia sejatinya orang Bugis genetis sang Sawerigading. Siapa pula yang pungkiri bahwa Yusuf Kalla adalah bangsawan Bugis tetapi dia tidak memakai gelar "Andi" karena bukan keturunan langsung Lapatau. Dalam versi lain, walaupun kebenaraannya masih dipertanyakaan selain karena belum ditemukan catatan secara tertulis dalam "Lontara" tetapi ada baiknya juga ditampilkan sebagai salah satu referensi penggunaan nama "Andi" tersebut. Di era pemerintahan La Pawawoi Karaeng Segeri, hubungan Bone dan VOC penuh dengan ketegangan dan berakhir dengan istilah "Rumpa’na Bone". Dalam menghadapi Belanda dibentuklah tim khusus yaitu tim "Anre Guru Ana 'Karung" yang di pimpin sendiri Petta Ponggawae. Dalam tim tersebut tidak di batasi hanya pada anak-anak Arung (bangsawan) saja tetapi juga kepada anak-anak muda tanggung yang orangtuanya memiliki posisi di daerah masing-masing seperti anak pabbicara'e, salewatang dan lain-lain, bahkan ada dari masyarakat ke meredaka. Mereka memiliki ilmu sebagai "Bakka Lolo dan Manu Ketti-ketti". Anggota tim tersebut disapa dengan gelar "Andi" sebagai keluarga muda angkat Raja Bone yang rela mati demi patettong'ngi alebbirenna Puanna (menegakkan kehormatan rajanya). Menurut cerita orang-orang tua Bone, Petta Imam Poke saat menerima tamu yang mamakai gelar "Andi" atau "Petta" dari daerah khusus Bone maka yang pertama ditanyakan "Nigatu Wija idi 'Baco / Baso? (Anda keturunan siapa Baso / Baco?). Baso / Baco adalah sapaan untuk anak laki-laki. Jika mereka menjawab" Iyye, iyya atanna Petta Pole (saya adalah hambanya Petta Pole) ", maka Petta Imam Poke mengatakan" Koki tudang ana baco / baso "(duduklah disamping saya) sambil menunjukkan dekat tempat duduknya, maka nyatalah bahwa" Andi "mereka pakai memang keturunan bangsawan pattola, cera dan rajeng, tetapi kalau jawaban Petta bilang "oohh, enreki mai ana baco" sambil menunjukkan tempat duduk di ruang tamu maka nyatalah "Andi" mereka pakai karena geleran untuk anak Ponggawa kampong (panglima) atau ana to maredeka yang pernah ikut dalam tim khusus tersebut. dalam versi yang hampir sama, gelar "Andi" pertama kali digunakan oleh Raja Bone ke-30 dan ke-32 La Mappanyukki, beliau adalah Putra Raja Gowa dan ibundanya adalah Putri Raja Bone. Gelar itu disematkan didepan nama beliau pada Tahun 1930 pada Pengaruh Belanda. Gelar Andi tersebut bertujuan untuk menandai Bangsawan-bangsawan yang berada dipihak Belanda, dan ketika melihat berbagai keuntungan dan fasilitas yang diperoleh untuk Bangsawan yang memakai gelar "Andi" didepan namanya, akhirnya setahun kemudian secara serentak seluruh Raja-Raja yang berada di Sulawesi Selatan menggunakan Gelar tersebut didepan namanya masing-masing.
Kelihatannya kita harus membuka Lontara antara era pemerintahan La Tenri Tatta Petta To Ri Sompa'e sampai La Mappanyukki khususnya versi Bone karena era itulah terjadi jalinan kerja sama maupun perseteruan antara Raja-Raja di celebes dengan VOC, selain itu orang yang bersangkutan menyaksikan awal penggunaan secara luas untuk Ana 'Arung juga semakin sulit dicari alias sudah banyak yang berpulang ke Rahmatullah, salah satu pakar yang begitu arif tentang masalah ini adalah Almahrum Tau Ri Passalama'e Anre Gurutta H.A.Poke, putra Mappabengga (Mantan imam besar mesjid Raya Bone) ... Gelar Andi, menurut Susan Millar dalam bukunya 'Bugis Wedding s' (telah diterbitkan oleh Ininnawa berjudul (Perkawinan Bugis) disinggung bagaimana proses lahirnya gelar Andi itu. Memang, seperti yang disinggung di atas, saat itu Pemerintah Belanda di tahun 1910-1920an ingin memperbaiki hubungan dengan para bangsawan Bugis dengan membebaskan keturunan bangsawan dari kerja paksa. Saat itu muncul masalah bagaimana menentukan seorang berdarah bangsawan atau tidak. Akibatnya, berbondong-bondonglah warga mendatangi raja dan menegosiasikan diri mereka untuk diakui sebagai bangsawan, karena rumitnya proses itu maka dibuatlah sebuah gelar baru untuk menentukan kebangsawanan seseorang dengan derajat yang lebih rendah. di pakailah kata Andi untuk menunjukkan kebangsawanan seseorang dalam bentuk sertifikat (mungkin sejenis sertifikat yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah lulus dalam kursus montir mobil atau sejenisnya).
FATIMAH BANRI (WE BANRI GAU) (1871 - 1895) 
We Fatimah Banri atau We Banri Gau Arung Timurung menggantikan ayahnya Singkeru 'Rukka Arung Palakka menjadi Mangkau' di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Fatimah dan digelarlah We Fatimah Banri Datu Citta. Pada tahun 1879 M. kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, anak dari We Pada Daeng Malele Arung Berru dengan suaminya I Malingkaang KaraengE ri Gowa. Yang menjadi tanda tanya adalah: Apakah sebelum La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo masih ada juga yang menggunakan nama / gelar itu sebelumnya? Mengapa kata 'Andi' yg digunakan / disepakati sebagai penandaan gelar untuk kaum bangsawan Sulawesi Selatan pada saat itu sampai dengan sekarang? Kenapa bukan Karaeng atau Raden atau Uwak atau dan lain-lain? Urgensi tata cara pandangan dalam asal-usul Andi itu sebenarnya karena tata cara pandang tergantung nara sumber data yang dimilki. Perbedaan dapat kita lihat sebagai berikut yaitu: Kapan yg memakai data dari sytem pemerintahan yang pada proses pendudukan Belanda mungkin ada benarnya bahwa Andi adalah pemberian Belanda, tapi ini akan menimbulkan pertanyaan yaitu: Apakah pemberian nama Andi dimana posisi bangsawan saat itu gampang dan mudah melihat yang mana pro dan anti terhadap Belanda karena baik pro dan anti Belanda semuanya menyandang gelar itu?, lalu apakah contoh yang paling mudah ketika Andi Mappanyukki sebagai tokoh yg mempopulerkan nama Andi merupakan orang anti Belanda?
Dari pertanyaan diatas dapat disimpulkan sementara bahwa kata asal-usul nama Andi adalah pemberian Belanda telah gugur. Bila data yang mengacu karena istilah penghormatan dari masyarakat luar Bugis atau akhirnya digunakan oleh Belanda terhadap bangsawan Bugis dianggap karena sama sederajat juga ada benarnya dimana yang dulunya istilah Adik adalah Andri menjadi Andi itu sangat relevan karena contoh sangat konkrit adalah sosok Andi Mappanyukki pada sejarah Kronik Van Paser yang namanya disebut hanya La Mappanyukki saja, namun karena banyaknya tetua Bangsawan Wajo hidup di Paser saat itu sampai mengatakan Andri sehingga masyarakat suku-suku Paser, Kutai dayak sampai Banjar sulit menyebutkan dan menyebabkan penyebutan menjadi Andi saja, hal yang sama ketika salah satu Ibukota Pemerintah Kutai diberikan nama oleh masyarakat Bugis yang bernama Tangga Arung namun sulit penyebutannya oleh masyarakat setempat menjadi Tenggarong. Ini juga menjadi data akurat bahwa nama Andi adalah aktualisasi perubahan dari Andri yang tidak bisa diucapkan dan akhrinya masuk ke wilayah orang Belanda dimana orang-orang bule baik Belanda, Portugis sampai Inggris sulit menyebut huruf "R" . Data yg paling cukup kuat adalah bila suatu kampung (Wanua, Limpo) yang hampir seluruhnya didiami oleh keturunan bangsawan dimana semuanya sejajar ketika dikampung mereka hanya disebut La Nu dan hanya namanya La Nu tapi pada saat dia keluar secara otomatis masyarakat luar melekatkan nama Andi didepannya . menajdi Andi Nu (sebenarnya banyak tokoh di abad ke 18 telah diberi nama Andi sebelum Andi Mappanyukki). Dari beberapa uraian yang ditampilkan di atas mungkin sulit untuk mengambil kesimpulan asal-usul gelar "Andi" untuk bangsawan bugis, namun yang terpenting adalah dengan membaca beberapa referensi setidaknya kita dapat menambah wawasan kita tentang sejarah Bugis.

1 komentar: