Asal Usul Gelar ”ANDI” pada Bangsawan Bugis dan Makassar

03.24.00 Unknown 1 Comments

Asal Usul Gelar ”ANDI” pada Bangsawan Bugis dan Makassar
Asal-usul gelar andi yang disematkan di depan nama BANGSAWAN BUGIS-MAKASSAR memang menjadi pertanyaan banyak orang. Gelar ini pada dasarnya hanya diperuntukkan bagi keturunan “ Ana’Pattola/Ana’ Ti’no’/Ana’ Matasa’ “ dari garis keturunan laki-laki, artinya tidak semua bangsawan Bugis-Makassar semisal Puang, Opu, Petta atau KaraEng bisa menyematkan gelar tersebut di depan namanya, sedang “Andi” mutlak menyandang Puang, Opu, Petta atau KaraEng.
Bermacam-macam pendapat dari para sejarawan atau cerita orang-orang tua dulu pada awal mula munculnya gelar andi di dalam masyarakat bugis, namun belum ada yang dapat menunjukkan bukti atau sumber yang benar-benar dapat dijadikan referensi mutlak. Dari beberapa sumber yang kami dapatkan, maka dapat diuraikan secara singkat tentang penggunaan nama Andi sebagai gelar yang digunakan para bangsawan Bugis.Sebutan "Andi" adalah sebutan alur kebangsawanan yang diwariskan hasil genetis La Patau Matanna Tikka Walinonoé To Tenri Bali Malaé Sanrang Petta Matinroé ri Nagauléng, Raja Bone XVII, (keturunan bangsawan bugis-makassar dari garis “Laki-Laki”).
Penggunaan ANDI beragam di setiap Wilayah Kerajaan. Soppeng misalnya hanya mengatur bahwa gelar Andi adalah bangsawan pada derajat keturunan ketiga, artinya “ANDI” hanya dapat disematkan oleh Bangsawan Murni (Ana’Pattola/Ana’Ti’no/Ana’Matasa’) yang kawin dengan orang biasa/kebanyakan dan diikuti perkawinan yang sama oleh keturunan kedua dan ketiga, selebihnya tidak dapat lagi menyematkan gelar tersebut. sementara Wajo dan Bone sampai keturunan ketujuh.
Dari sumber berikutnya dapat kami uraikan sebagai berikut. Gelar kebangsawanan "Datu" adalah gelar yang sudah ada sejak adanya pemerintah Bugis, di Luwu misalnya, semua raja bergelar Datu, dan Datu yang berprestasi bergelar Pajung, jadi tidak semua yang bergelar Datu disebung Pajung. Sama halnya di Bone, semua raja bergelar Arung, tapi tidak semua Arung bergelar Mangkau, hanya arung yang berprestasi bergelar Mangkau . Begitu juga di Makassar atau Gowa, semua bangsawan atau raja-raja bergelar Karaeng, hanya yang menjadi raja di Gowa yang bergelar Sombaiya. Gelar kebangsawanan lainnya, menurut kepada pemerintahan atau panggaderen di bawahnya, seperti Sulewatang, Arung, Petta, dan lain-lain . Jadi gelar itu sesuai terhadap jabatan yang didudukinya. Sementara untuk keturunannya yang membuktikan sebagai keturunan bangsawan, di Makassar dipanggil Karaeng. sedang di Bugis disebut Puang, dan di Luwu dipanggil Opu.
Salah satu versi menyebutkan bahwa adapun gelar Andi, pertama-tama yang menggunakannya adalah Andi Mattalatta untuk membedakan antara siswa dari turunan bangsawan dan rakyat biasa. Dan gelar Andi inilah yang diikuti oleh turunan bangsawan Luwu, dan Makassar. Jadi di zaman Andi Mattalattalah gelar ini muncul. Gelar "Andi" baru ada setelah era Pemerintah Kolonial Belanda (PKB). Setelah 1905, Sulawesi Selatan benar-benar ditaklukkan Belanda dan terjadi kekosongan kepemimpinan lokal. Tahun 1920-1930an PKB mencanangkan membentuk Zelf Beestuur (Pemerintah Pribumi / Swapraja) yang dibawahi oleh Controleur (Kantor Belanda) untuk Onder Afdeling.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah, jika memang Andi diidentikan dengan Belanda, mengapa pejuang kemerdekaan (Datu Luwu Andi Jemma, Arumpone, Andi Mappanyukki, Ranreng tuwa Wajo Andi Ninnong) tetap memakai gelar Andi didepan namanya sementara mereka justru menolak dijajah? tapi juga harus diakui bahwa ada juga yang berinisial Andi yang tunduk pada PKB. Nah ini yang kita harus bijak menilai antara gelar dan pilihan personal terhadap kemerdekaan / penjajahan. Secara umum Bangsawan Bugis berasal dari pemimpin-pemimpin anang / desa / wanua sebelum datangnya To Manurung / To Tompo. Pimpinan-pimpinan desa ini yang selanjutnya disebut Kalula / arung dengan nama alias / gelar berbeda-beda yang disesuaikan dengan nama desa / kondisi / perilaku bersangkutan yang dia peroleh melalui pengangkatan / pengangkatan oleh sekelompok anang / masyarakat maupun secara kekerasan (perang bersenjata) yang selanjutnya diwariskan secara turun-temurun kepada ahli warisnya, kecuali jika dikemudian hari ternyata dia ditaklukkan dan diganti oleh penguasa yang lebih tinggi / kuat. Sedangkan To Manurung dan To Tompo yang, 'asal usul' dan 'namanya' terkadang tidak diketahui dan segala kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, oleh sekelompok pimpinan Kalula / arung / Matoa sepakat untuk mengangkatnya menjadi ketua kelompok dikalangan Kalula / arung yang selanjutnya menjadi penguasa / raja yang berarti pula pondasi dasar sebuah pemerintahan / negara telah terbentuk-dimana tanah / wilayah, pemimpin / penguasa dan pengakuan dari segenap rakyat sudah terpenuhi.Penguasa / Raja biasanya kawin dengan sesama To Manurung / To Tompo [jika dia 'ada' / muncul tanpa didampingi pasangannya] dan pada tahap awal cenderung mengawinkan anak-anaknya dengan bangsawan lokal yang sudah ada sebelumnya. Ketika pemerintah-pemerintah kecil tadi dalam perkembangannya menjadi kerajaan besar , barulah perkawainan anak antar-pemerintah mulai diterapkan oleh Arung Palakka.
"Andi" ini dimulai ketika 24 Januari 1713 dipakai sebagai extention untuk semua keturunan hasil perkawinan Lapatau dengan putri Raja Bone sejati, Lapatau dengan putri Datu Luwu, Lapatau dengan putri raja Wajo, Lapatau dengan putri Sultan Abdul Jalil bin Sultan Hasanuddin (Sombayya Ri Gowa), Anak dan cucu Lapatau dengan putri Datu Suppa dan Tiroang. Anak dan cucu Lapatau dengan putri raja sejumlah kerajaan kecil yang berdaulat di Celebes (istri2 beliau disebut “Dala”). Termasuk keturunan dari La Maggumetteng Arung Sinri, putra Baginda La Patau dengan “St.Maemuna Dala Marusu”, Putri KaraEng Marusu’ Angsakayaia Binangana Marusu’.
Perkawinan tersebut sebagai upaya VOC untuk membangun dan mengoperasikan sosiologi baru di Celebes. Dan dengan alasan ini pula maka semua bangsawan laki-laki yang potensial pasca perjanjian bungaya, yang extrim dikejar sampai ke pelosok nusantara dan yang softly diminta tinggalkan bumi Sawerigading (Celebes).Siapa yang pungkiri kalau (Alm) Jenderal Muhammad Yusuf adalah bangsawan Bugis (putra dari Arung Kajuara) tetapi dia enggan memakai produk exlusivisme buatan VOC. Ia sejatinya orang Bugis genetis sang Sawerigading. Siapa pula yang pungkiri bahwa Yusuf Kalla adalah bangsawan Bugis tetapi dia tidak memakai gelar "Andi" karena bukan keturunan langsung Lapatau. Dalam versi lain, walaupun kebenaraannya masih dipertanyakaan selain karena belum ditemukan catatan secara tertulis dalam "Lontara" tetapi ada baiknya juga ditampilkan sebagai salah satu referensi penggunaan nama "Andi" tersebut. Di era pemerintahan La Pawawoi Karaeng Segeri, hubungan Bone dan VOC penuh dengan ketegangan dan berakhir dengan istilah "Rumpa’na Bone". Dalam menghadapi Belanda dibentuklah tim khusus yaitu tim "Anre Guru Ana 'Karung" yang di pimpin sendiri Petta Ponggawae. Dalam tim tersebut tidak di batasi hanya pada anak-anak Arung (bangsawan) saja tetapi juga kepada anak-anak muda tanggung yang orangtuanya memiliki posisi di daerah masing-masing seperti anak pabbicara'e, salewatang dan lain-lain, bahkan ada dari masyarakat ke meredaka. Mereka memiliki ilmu sebagai "Bakka Lolo dan Manu Ketti-ketti". Anggota tim tersebut disapa dengan gelar "Andi" sebagai keluarga muda angkat Raja Bone yang rela mati demi patettong'ngi alebbirenna Puanna (menegakkan kehormatan rajanya). Menurut cerita orang-orang tua Bone, Petta Imam Poke saat menerima tamu yang mamakai gelar "Andi" atau "Petta" dari daerah khusus Bone maka yang pertama ditanyakan "Nigatu Wija idi 'Baco / Baso? (Anda keturunan siapa Baso / Baco?). Baso / Baco adalah sapaan untuk anak laki-laki. Jika mereka menjawab" Iyye, iyya atanna Petta Pole (saya adalah hambanya Petta Pole) ", maka Petta Imam Poke mengatakan" Koki tudang ana baco / baso "(duduklah disamping saya) sambil menunjukkan dekat tempat duduknya, maka nyatalah bahwa" Andi "mereka pakai memang keturunan bangsawan pattola, cera dan rajeng, tetapi kalau jawaban Petta bilang "oohh, enreki mai ana baco" sambil menunjukkan tempat duduk di ruang tamu maka nyatalah "Andi" mereka pakai karena geleran untuk anak Ponggawa kampong (panglima) atau ana to maredeka yang pernah ikut dalam tim khusus tersebut. dalam versi yang hampir sama, gelar "Andi" pertama kali digunakan oleh Raja Bone ke-30 dan ke-32 La Mappanyukki, beliau adalah Putra Raja Gowa dan ibundanya adalah Putri Raja Bone. Gelar itu disematkan didepan nama beliau pada Tahun 1930 pada Pengaruh Belanda. Gelar Andi tersebut bertujuan untuk menandai Bangsawan-bangsawan yang berada dipihak Belanda, dan ketika melihat berbagai keuntungan dan fasilitas yang diperoleh untuk Bangsawan yang memakai gelar "Andi" didepan namanya, akhirnya setahun kemudian secara serentak seluruh Raja-Raja yang berada di Sulawesi Selatan menggunakan Gelar tersebut didepan namanya masing-masing.
Kelihatannya kita harus membuka Lontara antara era pemerintahan La Tenri Tatta Petta To Ri Sompa'e sampai La Mappanyukki khususnya versi Bone karena era itulah terjadi jalinan kerja sama maupun perseteruan antara Raja-Raja di celebes dengan VOC, selain itu orang yang bersangkutan menyaksikan awal penggunaan secara luas untuk Ana 'Arung juga semakin sulit dicari alias sudah banyak yang berpulang ke Rahmatullah, salah satu pakar yang begitu arif tentang masalah ini adalah Almahrum Tau Ri Passalama'e Anre Gurutta H.A.Poke, putra Mappabengga (Mantan imam besar mesjid Raya Bone) ... Gelar Andi, menurut Susan Millar dalam bukunya 'Bugis Wedding s' (telah diterbitkan oleh Ininnawa berjudul (Perkawinan Bugis) disinggung bagaimana proses lahirnya gelar Andi itu. Memang, seperti yang disinggung di atas, saat itu Pemerintah Belanda di tahun 1910-1920an ingin memperbaiki hubungan dengan para bangsawan Bugis dengan membebaskan keturunan bangsawan dari kerja paksa. Saat itu muncul masalah bagaimana menentukan seorang berdarah bangsawan atau tidak. Akibatnya, berbondong-bondonglah warga mendatangi raja dan menegosiasikan diri mereka untuk diakui sebagai bangsawan, karena rumitnya proses itu maka dibuatlah sebuah gelar baru untuk menentukan kebangsawanan seseorang dengan derajat yang lebih rendah. di pakailah kata Andi untuk menunjukkan kebangsawanan seseorang dalam bentuk sertifikat (mungkin sejenis sertifikat yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah lulus dalam kursus montir mobil atau sejenisnya).
FATIMAH BANRI (WE BANRI GAU) (1871 - 1895) 
We Fatimah Banri atau We Banri Gau Arung Timurung menggantikan ayahnya Singkeru 'Rukka Arung Palakka menjadi Mangkau' di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Fatimah dan digelarlah We Fatimah Banri Datu Citta. Pada tahun 1879 M. kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, anak dari We Pada Daeng Malele Arung Berru dengan suaminya I Malingkaang KaraengE ri Gowa. Yang menjadi tanda tanya adalah: Apakah sebelum La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo masih ada juga yang menggunakan nama / gelar itu sebelumnya? Mengapa kata 'Andi' yg digunakan / disepakati sebagai penandaan gelar untuk kaum bangsawan Sulawesi Selatan pada saat itu sampai dengan sekarang? Kenapa bukan Karaeng atau Raden atau Uwak atau dan lain-lain? Urgensi tata cara pandangan dalam asal-usul Andi itu sebenarnya karena tata cara pandang tergantung nara sumber data yang dimilki. Perbedaan dapat kita lihat sebagai berikut yaitu: Kapan yg memakai data dari sytem pemerintahan yang pada proses pendudukan Belanda mungkin ada benarnya bahwa Andi adalah pemberian Belanda, tapi ini akan menimbulkan pertanyaan yaitu: Apakah pemberian nama Andi dimana posisi bangsawan saat itu gampang dan mudah melihat yang mana pro dan anti terhadap Belanda karena baik pro dan anti Belanda semuanya menyandang gelar itu?, lalu apakah contoh yang paling mudah ketika Andi Mappanyukki sebagai tokoh yg mempopulerkan nama Andi merupakan orang anti Belanda?
Dari pertanyaan diatas dapat disimpulkan sementara bahwa kata asal-usul nama Andi adalah pemberian Belanda telah gugur. Bila data yang mengacu karena istilah penghormatan dari masyarakat luar Bugis atau akhirnya digunakan oleh Belanda terhadap bangsawan Bugis dianggap karena sama sederajat juga ada benarnya dimana yang dulunya istilah Adik adalah Andri menjadi Andi itu sangat relevan karena contoh sangat konkrit adalah sosok Andi Mappanyukki pada sejarah Kronik Van Paser yang namanya disebut hanya La Mappanyukki saja, namun karena banyaknya tetua Bangsawan Wajo hidup di Paser saat itu sampai mengatakan Andri sehingga masyarakat suku-suku Paser, Kutai dayak sampai Banjar sulit menyebutkan dan menyebabkan penyebutan menjadi Andi saja, hal yang sama ketika salah satu Ibukota Pemerintah Kutai diberikan nama oleh masyarakat Bugis yang bernama Tangga Arung namun sulit penyebutannya oleh masyarakat setempat menjadi Tenggarong. Ini juga menjadi data akurat bahwa nama Andi adalah aktualisasi perubahan dari Andri yang tidak bisa diucapkan dan akhrinya masuk ke wilayah orang Belanda dimana orang-orang bule baik Belanda, Portugis sampai Inggris sulit menyebut huruf "R" . Data yg paling cukup kuat adalah bila suatu kampung (Wanua, Limpo) yang hampir seluruhnya didiami oleh keturunan bangsawan dimana semuanya sejajar ketika dikampung mereka hanya disebut La Nu dan hanya namanya La Nu tapi pada saat dia keluar secara otomatis masyarakat luar melekatkan nama Andi didepannya . menajdi Andi Nu (sebenarnya banyak tokoh di abad ke 18 telah diberi nama Andi sebelum Andi Mappanyukki). Dari beberapa uraian yang ditampilkan di atas mungkin sulit untuk mengambil kesimpulan asal-usul gelar "Andi" untuk bangsawan bugis, namun yang terpenting adalah dengan membaca beberapa referensi setidaknya kita dapat menambah wawasan kita tentang sejarah Bugis.

1 komentar:

  1. Assalamualaikum,Panglima Perang Kerajaan Indragiri masa 1532 bernama ANDI SUMPU MUHAMMAD yg berasal dari Sulawesi,belum di ketahui secara pasti apakah dari Bone,Wajo,Luwu ataupun Gowa. Kalau memang orang akademis dan para sejarawan banyak yg mengatakan ANDI itu adalah gelaran buatan belanda,tp kenyataannya pd tahun 1500an Salah Seorang Putra Sulawesi telah lebih dulu memakai gelaran ANDI tersebut,yg bernama ANDI SUMPU MUHAMMAD

    BalasHapus