Asal Usul Gelar ”ANDI” pada Bangsawan Bugis dan Makassar
Asal Usul Gelar
”ANDI” pada Bangsawan Bugis dan Makassar
Asal-usul gelar
andi yang disematkan di depan nama BANGSAWAN BUGIS-MAKASSAR memang menjadi pertanyaan
banyak orang. Gelar ini pada dasarnya hanya diperuntukkan bagi keturunan “
Ana’Pattola/Ana’ Ti’no’/Ana’ Matasa’ “ dari garis keturunan laki-laki, artinya
tidak semua bangsawan Bugis-Makassar semisal Puang, Opu, Petta atau KaraEng
bisa menyematkan gelar tersebut di depan namanya, sedang “Andi” mutlak
menyandang Puang, Opu, Petta atau KaraEng.
Bermacam-macam
pendapat dari para sejarawan atau cerita orang-orang tua dulu pada awal mula
munculnya gelar andi di dalam masyarakat bugis, namun belum ada yang dapat
menunjukkan bukti atau sumber yang benar-benar dapat dijadikan referensi
mutlak. Dari beberapa sumber yang kami dapatkan, maka dapat diuraikan secara
singkat tentang penggunaan nama Andi sebagai gelar yang digunakan para
bangsawan Bugis.Sebutan "Andi" adalah sebutan alur kebangsawanan yang
diwariskan hasil genetis La Patau Matanna Tikka Walinonoé To Tenri Bali Malaé
Sanrang Petta Matinroé ri Nagauléng, Raja Bone XVII, (keturunan bangsawan
bugis-makassar dari garis “Laki-Laki”).
Penggunaan ANDI
beragam di setiap Wilayah Kerajaan. Soppeng misalnya hanya mengatur bahwa gelar
Andi adalah bangsawan pada derajat keturunan ketiga, artinya “ANDI” hanya dapat
disematkan oleh Bangsawan Murni (Ana’Pattola/Ana’Ti’no/Ana’Matasa’) yang kawin
dengan orang biasa/kebanyakan dan diikuti perkawinan yang sama oleh keturunan
kedua dan ketiga, selebihnya tidak dapat lagi menyematkan gelar tersebut.
sementara Wajo dan Bone sampai keturunan ketujuh.
Dari sumber
berikutnya dapat kami uraikan sebagai berikut. Gelar kebangsawanan
"Datu" adalah gelar yang sudah ada sejak adanya pemerintah Bugis, di
Luwu misalnya, semua raja bergelar Datu, dan Datu yang berprestasi bergelar
Pajung, jadi tidak semua yang bergelar Datu disebung Pajung. Sama halnya di
Bone, semua raja bergelar Arung, tapi tidak semua Arung bergelar Mangkau, hanya
arung yang berprestasi bergelar Mangkau . Begitu juga di Makassar atau Gowa,
semua bangsawan atau raja-raja bergelar Karaeng, hanya yang menjadi raja di
Gowa yang bergelar Sombaiya. Gelar kebangsawanan lainnya, menurut kepada
pemerintahan atau panggaderen di bawahnya, seperti Sulewatang, Arung, Petta,
dan lain-lain . Jadi gelar itu sesuai terhadap jabatan yang didudukinya.
Sementara untuk keturunannya yang membuktikan sebagai keturunan bangsawan, di
Makassar dipanggil Karaeng. sedang di Bugis disebut Puang, dan di Luwu
dipanggil Opu.
Salah satu versi
menyebutkan bahwa adapun gelar Andi, pertama-tama yang menggunakannya adalah
Andi Mattalatta untuk membedakan antara siswa dari turunan bangsawan dan rakyat
biasa. Dan gelar Andi inilah yang diikuti oleh turunan bangsawan Luwu, dan
Makassar. Jadi di zaman Andi Mattalattalah gelar ini muncul. Gelar
"Andi" baru ada setelah era Pemerintah Kolonial Belanda (PKB).
Setelah 1905, Sulawesi Selatan benar-benar ditaklukkan Belanda dan terjadi
kekosongan kepemimpinan lokal. Tahun 1920-1930an PKB mencanangkan membentuk
Zelf Beestuur (Pemerintah Pribumi / Swapraja) yang dibawahi oleh Controleur
(Kantor Belanda) untuk Onder Afdeling.
Namun yang menjadi
pertanyaan adalah, jika memang Andi diidentikan dengan Belanda, mengapa pejuang
kemerdekaan (Datu Luwu Andi Jemma, Arumpone, Andi Mappanyukki, Ranreng tuwa
Wajo Andi Ninnong) tetap memakai gelar Andi didepan namanya sementara mereka
justru menolak dijajah? tapi juga harus diakui bahwa ada juga yang berinisial
Andi yang tunduk pada PKB. Nah ini yang kita harus bijak menilai antara gelar
dan pilihan personal terhadap kemerdekaan / penjajahan. Secara umum Bangsawan
Bugis berasal dari pemimpin-pemimpin anang / desa / wanua sebelum datangnya To
Manurung / To Tompo. Pimpinan-pimpinan desa ini yang selanjutnya disebut Kalula
/ arung dengan nama alias / gelar berbeda-beda yang disesuaikan dengan nama
desa / kondisi / perilaku bersangkutan yang dia peroleh melalui pengangkatan /
pengangkatan oleh sekelompok anang / masyarakat maupun secara kekerasan (perang
bersenjata) yang selanjutnya diwariskan secara turun-temurun kepada ahli
warisnya, kecuali jika dikemudian hari ternyata dia ditaklukkan dan diganti
oleh penguasa yang lebih tinggi / kuat. Sedangkan To Manurung dan To Tompo
yang, 'asal usul' dan 'namanya' terkadang tidak diketahui dan segala
kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, oleh sekelompok
pimpinan Kalula / arung / Matoa sepakat untuk mengangkatnya menjadi ketua
kelompok dikalangan Kalula / arung yang selanjutnya menjadi penguasa / raja
yang berarti pula pondasi dasar sebuah pemerintahan / negara telah
terbentuk-dimana tanah / wilayah, pemimpin / penguasa dan pengakuan dari
segenap rakyat sudah terpenuhi.Penguasa / Raja biasanya kawin dengan sesama To
Manurung / To Tompo [jika dia 'ada' / muncul tanpa didampingi pasangannya] dan
pada tahap awal cenderung mengawinkan anak-anaknya dengan bangsawan lokal yang
sudah ada sebelumnya. Ketika pemerintah-pemerintah kecil tadi dalam
perkembangannya menjadi kerajaan besar , barulah perkawainan anak
antar-pemerintah mulai diterapkan oleh Arung Palakka.
"Andi"
ini dimulai ketika 24 Januari 1713 dipakai sebagai extention untuk semua
keturunan hasil perkawinan Lapatau dengan putri Raja Bone sejati, Lapatau
dengan putri Datu Luwu, Lapatau dengan putri raja Wajo, Lapatau dengan putri
Sultan Abdul Jalil bin Sultan Hasanuddin (Sombayya Ri Gowa), Anak dan cucu
Lapatau dengan putri Datu Suppa dan Tiroang. Anak dan cucu Lapatau dengan putri
raja sejumlah kerajaan kecil yang berdaulat di Celebes (istri2 beliau disebut
“Dala”). Termasuk keturunan dari La Maggumetteng Arung Sinri, putra Baginda La
Patau dengan “St.Maemuna Dala Marusu”, Putri KaraEng Marusu’ Angsakayaia
Binangana Marusu’.
Perkawinan tersebut
sebagai upaya VOC untuk membangun dan mengoperasikan sosiologi baru di Celebes.
Dan dengan alasan ini pula maka semua bangsawan laki-laki yang potensial pasca
perjanjian bungaya, yang extrim dikejar sampai ke pelosok nusantara dan yang softly
diminta tinggalkan bumi Sawerigading (Celebes).Siapa yang pungkiri kalau (Alm)
Jenderal Muhammad Yusuf adalah bangsawan Bugis (putra dari Arung Kajuara)
tetapi dia enggan memakai produk exlusivisme buatan VOC. Ia sejatinya orang
Bugis genetis sang Sawerigading. Siapa pula yang pungkiri bahwa Yusuf Kalla
adalah bangsawan Bugis tetapi dia tidak memakai gelar "Andi" karena
bukan keturunan langsung Lapatau. Dalam versi lain, walaupun kebenaraannya
masih dipertanyakaan selain karena belum ditemukan catatan secara tertulis
dalam "Lontara" tetapi ada baiknya juga ditampilkan sebagai salah
satu referensi penggunaan nama "Andi" tersebut. Di era pemerintahan
La Pawawoi Karaeng Segeri, hubungan Bone dan VOC penuh dengan ketegangan dan
berakhir dengan istilah "Rumpa’na Bone". Dalam menghadapi Belanda
dibentuklah tim khusus yaitu tim "Anre Guru Ana 'Karung" yang di
pimpin sendiri Petta Ponggawae. Dalam tim tersebut tidak di batasi hanya pada
anak-anak Arung (bangsawan) saja tetapi juga kepada anak-anak muda tanggung yang
orangtuanya memiliki posisi di daerah masing-masing seperti anak pabbicara'e,
salewatang dan lain-lain, bahkan ada dari masyarakat ke meredaka. Mereka
memiliki ilmu sebagai "Bakka Lolo dan Manu Ketti-ketti". Anggota tim
tersebut disapa dengan gelar "Andi" sebagai keluarga muda angkat Raja
Bone yang rela mati demi patettong'ngi alebbirenna Puanna (menegakkan
kehormatan rajanya). Menurut cerita orang-orang tua Bone, Petta Imam Poke saat
menerima tamu yang mamakai gelar "Andi" atau "Petta" dari
daerah khusus Bone maka yang pertama ditanyakan "Nigatu Wija idi 'Baco /
Baso? (Anda keturunan siapa Baso / Baco?). Baso / Baco adalah sapaan untuk anak
laki-laki. Jika mereka menjawab" Iyye, iyya atanna Petta Pole (saya adalah
hambanya Petta Pole) ", maka Petta Imam Poke mengatakan" Koki tudang
ana baco / baso "(duduklah disamping saya) sambil menunjukkan dekat tempat
duduknya, maka nyatalah bahwa" Andi "mereka pakai memang keturunan
bangsawan pattola, cera dan rajeng, tetapi kalau jawaban Petta bilang
"oohh, enreki mai ana baco" sambil menunjukkan tempat duduk di ruang
tamu maka nyatalah "Andi" mereka pakai karena geleran untuk anak
Ponggawa kampong (panglima) atau ana to maredeka yang pernah ikut dalam tim
khusus tersebut. dalam versi yang hampir sama, gelar "Andi" pertama
kali digunakan oleh Raja Bone ke-30 dan ke-32 La Mappanyukki, beliau adalah
Putra Raja Gowa dan ibundanya adalah Putri Raja Bone. Gelar itu disematkan
didepan nama beliau pada Tahun 1930 pada Pengaruh Belanda. Gelar Andi tersebut
bertujuan untuk menandai Bangsawan-bangsawan yang berada dipihak Belanda, dan
ketika melihat berbagai keuntungan dan fasilitas yang diperoleh untuk Bangsawan
yang memakai gelar "Andi" didepan namanya, akhirnya setahun kemudian
secara serentak seluruh Raja-Raja yang berada di Sulawesi Selatan menggunakan
Gelar tersebut didepan namanya masing-masing.
Kelihatannya kita
harus membuka Lontara antara era pemerintahan La Tenri Tatta Petta To Ri
Sompa'e sampai La Mappanyukki khususnya versi Bone karena era itulah terjadi
jalinan kerja sama maupun perseteruan antara Raja-Raja di celebes dengan VOC,
selain itu orang yang bersangkutan menyaksikan awal penggunaan secara luas
untuk Ana 'Arung juga semakin sulit dicari alias sudah banyak yang berpulang ke
Rahmatullah, salah satu pakar yang begitu arif tentang masalah ini adalah
Almahrum Tau Ri Passalama'e Anre Gurutta H.A.Poke, putra Mappabengga (Mantan
imam besar mesjid Raya Bone) ... Gelar Andi, menurut Susan Millar dalam bukunya
'Bugis Wedding s' (telah diterbitkan oleh Ininnawa berjudul (Perkawinan Bugis)
disinggung bagaimana proses lahirnya gelar Andi itu. Memang, seperti yang
disinggung di atas, saat itu Pemerintah Belanda di tahun 1910-1920an ingin
memperbaiki hubungan dengan para bangsawan Bugis dengan membebaskan keturunan
bangsawan dari kerja paksa. Saat itu muncul masalah bagaimana menentukan
seorang berdarah bangsawan atau tidak. Akibatnya, berbondong-bondonglah warga
mendatangi raja dan menegosiasikan diri mereka untuk diakui sebagai bangsawan,
karena rumitnya proses itu maka dibuatlah sebuah gelar baru untuk menentukan
kebangsawanan seseorang dengan derajat yang lebih rendah. di pakailah kata Andi
untuk menunjukkan kebangsawanan seseorang dalam bentuk sertifikat (mungkin
sejenis sertifikat yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah lulus dalam
kursus montir mobil atau sejenisnya).
FATIMAH BANRI (WE BANRI GAU) (1871 -
1895)
We Fatimah Banri atau We Banri Gau
Arung Timurung menggantikan ayahnya Singkeru 'Rukka Arung Palakka menjadi
Mangkau' di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Fatimah
dan digelarlah We Fatimah Banri Datu Citta. Pada tahun 1879 M. kawin dengan
sepupu satu kalinya yang bernama La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, anak
dari We Pada Daeng Malele Arung Berru dengan suaminya I Malingkaang KaraengE ri
Gowa. Yang menjadi tanda tanya adalah: Apakah sebelum La Magguliga Andi
Bangkung Karaeng Popo masih ada juga yang menggunakan nama / gelar itu
sebelumnya? Mengapa kata 'Andi' yg digunakan / disepakati sebagai penandaan
gelar untuk kaum bangsawan Sulawesi Selatan pada saat itu sampai dengan
sekarang? Kenapa bukan Karaeng atau Raden atau Uwak atau dan lain-lain? Urgensi
tata cara pandangan dalam asal-usul Andi itu sebenarnya karena tata cara
pandang tergantung nara sumber data yang dimilki. Perbedaan dapat kita lihat
sebagai berikut yaitu: Kapan yg memakai data dari sytem pemerintahan yang pada
proses pendudukan Belanda mungkin ada benarnya bahwa Andi adalah pemberian
Belanda, tapi ini akan menimbulkan pertanyaan yaitu: Apakah pemberian nama Andi
dimana posisi bangsawan saat itu gampang dan mudah melihat yang mana pro dan
anti terhadap Belanda karena baik pro dan anti Belanda semuanya menyandang
gelar itu?, lalu apakah contoh yang paling mudah ketika Andi Mappanyukki
sebagai tokoh yg mempopulerkan nama Andi merupakan orang anti Belanda?
Dari pertanyaan
diatas dapat disimpulkan sementara bahwa kata asal-usul nama Andi adalah
pemberian Belanda telah gugur. Bila data yang mengacu karena istilah
penghormatan dari masyarakat luar Bugis atau akhirnya digunakan oleh Belanda
terhadap bangsawan Bugis dianggap karena sama sederajat juga ada benarnya
dimana yang dulunya istilah Adik adalah Andri menjadi Andi itu sangat relevan
karena contoh sangat konkrit adalah sosok Andi Mappanyukki pada sejarah Kronik
Van Paser yang namanya disebut hanya La Mappanyukki saja, namun karena
banyaknya tetua Bangsawan Wajo hidup di Paser saat itu sampai mengatakan Andri
sehingga masyarakat suku-suku Paser, Kutai dayak sampai Banjar sulit
menyebutkan dan menyebabkan penyebutan menjadi Andi saja, hal yang sama ketika
salah satu Ibukota Pemerintah Kutai diberikan nama oleh masyarakat Bugis yang
bernama Tangga Arung namun sulit penyebutannya oleh masyarakat setempat menjadi
Tenggarong. Ini juga menjadi data akurat bahwa nama Andi adalah aktualisasi
perubahan dari Andri yang tidak bisa diucapkan dan akhrinya masuk ke wilayah
orang Belanda dimana orang-orang bule baik Belanda, Portugis sampai Inggris
sulit menyebut huruf "R" . Data yg paling cukup kuat adalah bila
suatu kampung (Wanua, Limpo) yang hampir seluruhnya didiami oleh keturunan
bangsawan dimana semuanya sejajar ketika dikampung mereka hanya disebut La Nu
dan hanya namanya La Nu tapi pada saat dia keluar secara otomatis masyarakat
luar melekatkan nama Andi didepannya . menajdi Andi Nu (sebenarnya banyak tokoh
di abad ke 18 telah diberi nama Andi sebelum Andi Mappanyukki). Dari beberapa
uraian yang ditampilkan di atas mungkin sulit untuk mengambil kesimpulan
asal-usul gelar "Andi" untuk bangsawan bugis, namun yang terpenting
adalah dengan membaca beberapa referensi setidaknya kita dapat menambah wawasan
kita tentang sejarah Bugis.
Assalamualaikum,Panglima Perang Kerajaan Indragiri masa 1532 bernama ANDI SUMPU MUHAMMAD yg berasal dari Sulawesi,belum di ketahui secara pasti apakah dari Bone,Wajo,Luwu ataupun Gowa. Kalau memang orang akademis dan para sejarawan banyak yg mengatakan ANDI itu adalah gelaran buatan belanda,tp kenyataannya pd tahun 1500an Salah Seorang Putra Sulawesi telah lebih dulu memakai gelaran ANDI tersebut,yg bernama ANDI SUMPU MUHAMMAD
BalasHapus